Selama saya sekolah di salah satu SMA di Kota Tomohon, hal yang paling menjengkelkan bagi saya yaitu belajar. Sehingga mengikuti pelajaran di kelas hanyalah sebuah formalitas. Suatu ketika ada teman saya yang memanggil saya untuk mengikuti test di sebuah seminari tetapi saya merasa tidak tertarik dan menolak panggilannya. Yang ada di benak saya hidup di seminari adalah hidup sesuai dengan aturan dan orang-orang yang ada di dalamnya semuanya pandai serta orang-orang yang tekun. Jika dibandingkan dengan saya tentunya sangat tidaklah cocok.
Singkat cerita. Setelah lulus SMA, saya bekerja bersama dengan paman saya sebagai pembuat Mie Basah. Setelah hampir satu tahun bekerja, paman saya pun ingin menyekolahkan saya di sebuah perguruan tinggi. Namun, secara spontan saya menjawab bahwa saya ingin masuk di seminari. Mendengar penyataan itu, paman saya ternyata diam-diam sudah mendaftarkan saya di Seminari Augustinianum Tomohon. Walaupun secara batin saya belum siap, tetapi dengan modal nekat, saya mencoba untuk mengikuti tes sehingga saya orang terakhir yang tiba pada tes gelombang pertama. Saya berpikir bahwa saya tidak lulus karena saya kurang mempersiapkan diri, tetapi saya bersyukur karena saya boleh lulus tes.
Suasana baru. Itulah perasaan yang saya rasakan ketika hari pertama masuk di seminari. Saya sempat berpikir bahwa saya pasti tidak akan bertahan di seminari, karena di seminari semuanya hidup sesuai aturan. Setelah mengikuti orientasi dan mulai mengikuti pembinaan di seminari, ternyata apa yang saya anggap itu salah. Saya menyadari ternyata di seminari orang-orang dibina untuk menjadi manusia sebagai manusia. Kita dibina untuk belajar hidup bersama dan membuang semua keegoisan.
Sekarang saya sudah seorang frater tingkat dua di Seminari Pineleng. Banyak pengalaman suka dan duka yang saya temukan. Saya sering merasa bosan jika belajar dan menjalani panggilan sebagai seorang calon imam. Sharing merupakan salah satu solusi untuk mengembalikan motivasi saya. Teman-teman selalu memberikan motivasi dan semangat kepada saya sehingga itulah yang menguatkan saya.
Sekarang saya menyadari bahwa hidup sebagai seorang calon imam merupakan suatu kesempatan yang diberikan Tuhan. Dari sinilah saya belajar untuk lebih dewasa dalam berpikir, saya juga belajar tentang persahabatan, rela berkorban baik suka maupun duka. Walaupun saya belum tahu apakah saya sudah dipilih untuk melayani Tuhan, tetapi saya senang karena lewat pembinaan ini hidup saya dapat menjadi manusia yang lebih baik. Karena bagi saya “Tuhan datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mat. 9:13).
(Fr. Rafael Montung)