Refleksi: Kebiasaan Gereja yang Berubah-ubah “Sakramen Tobat”

0
1605

Sepuluh tahun yang lalu ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, hampir setiap hari, saya selalu di marahi dan bahkan dihukum oleh orangtua ketika saya melanggar perintah dan nasehat mereka. Kondisi itu membuat saya selalu ingin pergi ke luar rumah untuk mencari kebahagiaan bersama dengan teman-teman seumuran saya. Ketika matahari mulai terbenam dan saya belum juga pulang ke rumah, maka pasti ibu atau ayah saya sudah mulai mencari saya. Satu hal yang saya takuti ketika orangtua mulai mencari saya adalah hukuman. Hukuman yang diberikan dapat bermacam-macam. Ada yang berbentuk siksaan seperti berlutut dan bahkan ada yang berbentuk siksaan semi militer.

Setiap hukuman yang saya terima, membuat saya mulai berpikir bahwa orangtua saya tidak mencintai saya. Akan tetapi pandangan itu berubah ketika saya mulai hidup di Seminari. Ketika hidup di Seminari, saya melihat bahwa pengalaman masa kecil yang penuh dengan didikan yang keras dari orangtua, membuat saya menjadi mengerti bahwa orangtua selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Didikan yang keras harus diberikan sejak kecil agar kelak dapat menjadi pribadi yang kuat dan tangguh.

Bertolak dari pengalaman masa kecil, saya mulai berefleksi bahwa jika orangtua mampu mencintai anaknya dengan sepenuh hati, maka Tuhan pasti akan jauh lebih tulus dalam mencintai kita. Ketulusan cinta Tuhan dapat dilihat pada Sakramen Tobat yang ada di dalam Gereja. Lewat Sakramen Tobat, Tuhan hadir untuk menerima dan mempersatukan kembali semua orang berdosa ke dalam pelukan-Nya. Sakramen Tobat menjadi bukti cinta Tuhan yang tak terbatas. Sekalipun Ia sering terluka karena kita, namun Ia tetap menerima kita.

Jika orangtua mampu memberi yang terbaik pada kita anaknya, maka Tuhan jauh lebih dari itu. Ia tidak pernah meninggalkan kita dan bahkan menghukum kita. Ia selalu ada dan setia berjalan bersama kita, walaupun kita sering meninggalkan-Nya. Sebagai manusia, mungkin kita malu untuk mengakui setiap kesalahan yang kita telah lakukan. Akan tetapi, hari ini saya mengajak kita semua untuk kembali melihat dan bertanya pada diri sendiri, mau sampai kapan hidup ini terus melukai hati Tuhan. Ingat bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara. Jangan jadikan rasa malu sebagai penghalang untuk bertobat. Sekarang saatnya kita bangkit dan meninggalkan hidup yang penuh dengan dosa, agar kita dapat sampai pada kebahagiaan abadi di Surga.

(Fr. Adiputro Koraag)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini