Refleksi: “Kemartiran”

0
3184

Peristiwa Pemboman Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela Surabaya (13/5/2018) meninggalkan begitu banyak kisah bagi orang Katolik. Dalam tulisan ini, saya mengambil salah satu dari kisah-kisah tersebut. Kisah mengenai Aloysius Bayu Rendra Wardhana, salah seorang korban pemboman Gereja Katolik Surabaya.

Bayu bukanlah seorang rohaniwan, bukan pula seorang biarawan. Ia adalah seorang awam biasa, seorang bapak dari dua anak yang mengorbankan dirinya demi keselamatan banyak orang. Ia menghadang pelaku pemboman yang sementara membawa bom dengan motornya.

Tindakannya berbuah kematian bagi dirinya. Ia harus menjadi korban dari ganasnya bom yang sudah disiapkan oleh para teroris. Meskipun ia menjadi korban, namun banyak orang Katolik yang menjadi selamat berkat aksinya.

Banyak orang melihat tindakan Bayu sebagai sebuah aksi heroik yang amat luar biasa di zaman ini. Ada yang menggelarinya sebagai pahlawan. Ada yang bahkan menggelarinya sebagai martir. Martir yang hidup di zaman ini.

Bayu memang layak untuk digelari martir. Ia memberikan nyawanya untuk keselamatan banyak orang. Ia tidak peduli, tubuhnya akan hancur berkeping-keping. Baginya keselamatan jiwa-jiwa adalah hal yang paling penting. Ia mempraktikan perintah yang tertuang dalam Kitab Hukum Kanonik, “Salus Animarum, Suprema Lex (Keselamatan jiwa-jiwa adalah hukum yang tertinggi).”

Lebih daripada itu, Bayu sejatinya memberikan nyawanya karena imannya kepada Kristus. Kita percaya bahwa iman akan Kristus memberanikan setiap orang untuk mati dalam nama Kristus.  Mati dalam Kristus bukanlah sebuah kekonyolan, namun sebuah realisasi dari iman. Iman membuat Bayu berani menyelamatkan banyak orang, bahkan harus mengorbankan dirinya sendiri.

Ia adalah cerminan sejati dari seorang beriman. Memang tak mudah untuk menemukan orang seperti Bayu, tetapi orang seperti ini akan selalu ada dari zaman ke zaman. Selalu ada martir yang mau memberikannya nyawanya karena cinta-Nya yang besar akan Tuhan dan akan sesama.

Kisah kemartiran Bayu membawa saya untuk menggali kembali pemahaman Gereja Katolik  mengenai martir. Martir dalam pandangan Gereja Katolik adalah setiap orang yang mau menumpahkan darahnya demi Kristus. Dengan lain kata, martir ialah setiap orang yang karena imannya akan Kristus, rela mengorbankan nyawa-Nya.

Gereja menetapkan St. Stefanus sebagai sebagai martir pertama. Ia mati dengan cara dirajam dengan batu karena imannya akan Kristus. Sesudah St. Stefanus, masih banyak pula martir lain dalam Gereja.

Kematian para martir bukanlah sebuah kesia-siaan. Kematian para martir merupakan sebuah sukacita iman yang luar biasa. Tertulianus bahkan menegaskan, “darah para martir adalah benih bagi Gereja.” Artinya, darah para martir akan membuat Gereja terus berkembang, karena Kristus selalu menyertai.

(Fr. Atus Mayabubun)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini