Refleksi: “Hadiah yang Menyakitkan”

0
1295

Dalam setiap perjalan kehidupan, tentunya semua orang selalu menginginkan kesuksesan. Namun saya sadar bahwa sebuah kesuksesan adalah pemberian dari Tuhan untuk dipelihara dan dikembangkan. Semuanya itu yang dikatakan oleh Tuhan di dalam Kitab Suci yakni talenta. Saya pernah berpikir ketika saya duduk di bangku SD kelas 6 bahwasanya segala kebahagiaan yang saya alami adalah kerja keras saya dan tanpa bantuan dari siapapun.

Saya kadang merasa iri dengan kehidupan orang lain dimana mereka selalu merasakan apa yang dinamakan kebahagiaan dari orang tua dan pujian dari orang lain. Saya ingat ketika SD teman saya Stenly adalah orang yang di pandang baik di dalam kehidupan masyarakat, dan saya selalu ingin menjadi seperti dia. Hal Tersebut menciptakan sebuah harapan supaya Tuhan memberikan apa yang dapat membuat saya bahagia dan dipandang baik oleh masyarakat.

Ketika sekolah saya mengadakan perlombahan, saya pun mengikutinya. Ternyata saya mendapat juara 1 dalam perlombahan itu. Dengan senyuman kebahagiaan saya pulang ke rumah dan segera menghampiri ayah. Namun, ternyata kebehagiaan itu harus diikuti dengan dukacita, karena pukul 23:58 ayah meninggal dunia.

Begitu pula ketika saya duduk di bangku kelas 1, SMP Seminari SYV Saumlaki. Ketika menunggu hari kebahagiaan yaitu hari ulang tahun ke-14, tanpa menghiraukan apa kata orang saya pun bertindak baik di hadapan semua staf. Dan pada pukul 15:00 saya kemudian pergi mandi dan segera bergegas ke ruang belajar hendak mendahului teman-teman yang masih tidur dan yang sementara mandi. Saya kemudian melihat seseorang bersama dengan ­­seorang anggota biarawan datang ke seminari. Saya kemudian menghampiri dan ternyata dalam pengamatan saya seorang awam itu adalah kakak sepupu saya sendiri. Apa yang saya dapatkan dari dia ternyata suatu berita yang saya rasa sangat tidak begitu enak di terima begitu saja. Kakak frater saya meninggal dunia dan saya pun dengan segala kekuatiran bergegas ke rumah sakit dan ketika tiba di sana saya melihat tubuh yang kaku. Saya dengan sendirinya lemah karena tak menyangka apa yang saya lihat itu.

Memang semua orang tentu menghalami hal yang menyakitkan. Pengalaman ditinggalkan ayah dan kakak adalah pengalaman sedih yang pernah saya alami. Tapi pengalaman sedih itu justru menjadi motivasi saya untuk menjadi seorang imam. Sampai sekarang saya selalu bertanya dalam doa saya, “Tuhan apakah kepergian seorang ayah dan kakak frater adalah sebuah ‘hadiah’ bagi saya?”. Hadiah itu memang sangat menyakitkan. Saya jadi bertanya, “Apakah hadiah terindah harus dibungkus oleh pengalaman menyakitkan?”

(Fr. Arnoldus Jansen Buarlely)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini