“Kebenaran Dimulai Dari Perkataan” : Renungan, Sabtu 19 Februari 2022

0
1757

Hari Biasa (H)

Yak. 3:1-10; Mzm. 12:2-3, 4-5, 7-8; Mrk. 9:2-13.

Martabat seorang manusia selalu mengarah pada kebenaran, kebaikan dan keindahan. Setiap orang pasti menginginkan situasi yang damai. Keadaan seperti ini memungkinkan orang untuk menjalani kesehariannya dengan bersemangat dan bersukacita. Orang yang sadar akan situasi sedemikian ini berusaha untuk tetap menjaga dan melestarikan kesukacitaan yang ia alami ini.

Namun, situasi yang begitu harmonis seperti ini biasanya tidak akan bertahan lebih lama. Sangat tepatlah pernyataan bahwa ekspektasi seringkali berlawanan dengan kenyataan. Pelbagai masalah selalu muncul, merasuki dan merusak hubungan harmonis yang sedang tercipta. Akibatnya, konflik terjadi di mana-mana dan mereduksi martabat manusia.

Tuhan menegur kita supaya menjadi pribadi yang berusaha untuk mau hidup dalam kesukacitaan bersama orang lain. Tuhan tidak menghendaki kita menjadi pribadi yang membuat orang lain rugi dan jatuh dalam dosa. Kebaikan dari diri sendiri hendaknya menjadi keutamaan yang paling penting untuk dilaksanakan. Ukuran pertama yang hendak dijadikan sebagai pembentuk keharmonisan relasi ialah lidah kita.

Lidah dilambangkan oleh Tuhan sebagai api. Betapa pun kecilnya api itu, ia tetap berbahaya. Ia dapat membakar hutan yang besar. Ia mengambil bagian dalam terciptanya kejahatan dan dosa dalam hidup sehari-hari. Satu perkataan saja, apabila bermakna jahat, dapat merusak keharmonisan. Dampaknya pun besar dan berbahaya. Bahkan, dapat membuat satu jiwa melayang.

Kutipan surat Yakobus menyatakan bahwa lidah merupakan anggota tubuh yang kecil namun dapat menodai seluruh anggota tubuh yang lain. Ketika seseorang tidak mengendalikan dengan baik apa yang ia katakan, perkataannya itu menjadi liar dan menjadi racun bagi sesama. Dari sinilah segala dusta, fitnah dan kebusukan hati seseorang mulai menyebar dan malah merusak dunia indah yang Tuhan ciptakan.

Yesus yang menampakkan kemuliaan surgawi-Nya di atas gunung Tabor akhirnya membuka mata hati dan budi para murid teristimewa Petrus, Yakobus dan Yohanes yang menyaksikan peristiwa itu. Lewat peristiwa itu Yesus memberi penegasan bahwa hendaklah kita memuliakan dan memuji-muji Allah dengan tinggi-luhur. Pantaslah kita mengidungkan madah kemuliaan bagi Allah.

Pujian dan kemuliaan ini hendaknya dimulai pertama-tama melalui perkataan kita. Perkataan yang selalu mengarah pada kebaikan, kebenaran dan keindahan, yang utuh hanya bagi Allah. Lidah bukan menjadi pengabai Sabda Allah, tapi menjadi penyambung lidah Allah.

(Fr. Arsti Onibala)

“Rabi, betapa bahagianya kami berada di tempat ini” (Mrk. 9: 5).

Marilah berdoa:

Tuhan, semoga kami mampu untuk senantiasa mewartakan kebenaran. Amin.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini